Powered By Blogger

Home

Saturday 8 February 2014

Patung Sigale-gale, Sebuah Tarian Kematian

Kunjungan wisata ke Danau Toba di Sumatra Utara, tak akan lengkap jika tidak menyaksikan atraksi budaya Patung Sigale-gale menari yang berlatar sejarah sekaligus mistis Batak Toba.

Atraksi Patung Sigale-gale menari bisa dijumpai di kawasan Tomok, Kabupaten Samosir, tepat di Pulau Samosir yang ada di tengah danau vulkanik terbesar di jagat raya.

Pertunjukkan tarian patung Sigale-gale tergolong langka. Jumlah patung ini juga terbilang sedikit karena terdapat kepercayaan tidak mudah dalam pembuatannya.

Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa pembuat patung Sigale-gale harus menyerahkan jiwanya kepada boneka kayu buatannya agar patung itu bisa bergerak layaknya manusia hidup.

Beruntung pertunjukkan tarian mistis ini melekat dalam budaya Batak Toba dan tidak punah tergerus zaman. Hingga kini masih dapat dijumpai sejumlah patung yang dipahat puluhan tahun silam.

Di Samosir, tersiar kabar terdapat setidaknya empat lokasi yang menyajikan atraksi Patung Sigale-gale menari. Selain di Tomok, satu lokasi yang rutin menggelar atraksi ini yaitu Museum Hutabolon Simanindo.

Pertunjukkan Patung Sigale-gale menari dimainkan dengan iringan musikal Sordam dan Gondang Sabangunan. Biasanya ada sekitar tujuh macam cara musik ritual Batak untuk memainkan tarian patung Sigale-gale ini.

Atraksi tarian Sigale-gale, dilengkapi dengan 8-10 orang penari yang mengiringinya. Mereka akan menari tor-tor sesuai musik meskipun fokus utama tetap pada patung Sigale-gale.

Patung Sigale-gale yang terbuat dari kayu dan mengenakan pakaian adat Batak Toba lengkap dapat meliuk-liuk mengikuti alunan musik.

Boneka setinggi 1,5 meter itu bergerak dan menciptakan kesan seperti manusia hidup. Kepalanya bisa berputar ke samping kanan dan kiri, mata dan lidahnya dapat bergerakm kedua tangannya dapat menari tor-tor.

Patung ini juga dapat menurunkan badannya seperti saat manusia berjongkok saat sedang menari. Padahal, semua gerakan itu dilakukan di atas peti mati yang merupakan tempat penyimpanan boneka Sigale-gale setelah dimainkan.

Sigal-gale dimainkan oleh dua hingga tiga orang dalang yang ada dibelakangnya dengan menarik jalur-jalur tali secara anatomis. Konon, dulunya hanya butuh seorang dalang untuk memainkan patung ini.

Dahulu, menarikan Patung Sigale-gale tidak membutuhkan jalur tali untuk menggerakkannya. Patung ini dihidupkan oleh kekuatan gaib dalang yang disebut gana-ganaan.

Seorang dalang legendaris yang terkenal adalah Raja Gayus Rumoharbo dari kampung Garoga, Tomok. Dia pernah tampil pada festival Sigale-gale di Pematang Siantar sekitar tahun 1930-an.

Raja Gayus dikenal mampu membuat patung yang dibuatnya sendiri itu dapat mengeluarkan air mata dan bisa mengusap ulos ada dibahu Sigale-gale. Namun, hingga kini misteri teknik mengeluarkan air mata itu masih belum terkuak.

Patung yang dimainkan oleh Raja Gayus dikabarkan saat ini berada di Belanda. Satu boneka lagi disimpan di Museum Nasional Jakarta pada bagian khusus kebudayaan Batak.

Di kampung-kampung Samosir, cerita mistis pembuatan patung Sigale-gale masih lestari terutama di Garoga. Kampung yang berjarak sekitar 3 Kilometer itu sebenarnya tidak dapat dipastikan sebagai latar munculnya Sigale-gale.

Kapung Siallagan dan Ambarita juga memiliki kisah asal usul patung Sigale-gale. Kisah mistis dan seram dalam pembuatan patung ini juga santer terdengar.

Sang pematung dipercaya akan menjadi tumbal setelah menyelesaikan pembuatan Sigale-gale. Pematung atau dikenal dengan sebutan Datu Panggana diyakini akan meninggal.

Kemungkinan dengan adanya kepercayaan itu, pembuatan patung Sigale-gale menjadi sangat ekslusif dan tidak banyak. Kini pembuatan patung itu dikerjakan oleh lebih dari satu orang karena diyakini dapat menghindari tumbal.

Patung yang dibuat dari kayu ingul dan kayu nangka ini biasanya tidak boleh diletakkan di dalam rumah. Pembuat Sigale-gale akan menyimpan di tempat khusus di tengah persawahan yang disebut Sopo Balian.

Salah satu versi kisah patung fenomenal ini berawal dari seorang Raja bernama Tuan Rahat yang sangat bijaksana di Huta Samosir, Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak yang diberi nama Manggale.

Kala itu, di wilayah Sumatra masih sering terjadi peperangan antar kerajaan. Sang Raja menugaskan anak sematawayangnya untuk ikut berperang melawan musuh.

Nahas terjadi pada sang putra mahkota. Dia gugur di medan perang dan meninggalkan duka mendalam bagi Raja serta masyarakatnya.

Rajapun terpukul hatinya akibat kematian putranya itu. Tak pelak, raja jatuh sakit akibat begitu dalam rasa kehilangan yang dideritanya.

Melihat Sang Raja kian kritis, penasehat kerajaan memanggil 'orang pintar' untuk mengobati penyakit padukanya. Beberapa Datu atau dukun yang dipanggil mengatakan bahwa paduka sakit akibat memendam rindu pada putranya.

Salah satu Datu itupun mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dibuatkan patung kayu yang dipahat menyerupai wajah Manggale. Kemudian, saran itu dilakukan di sebuah hutan belantara.

Saat patung itu rampung dipahat, penasehat kerajaan menggelar upacara pengangkatan patung Manggale ke istana kerajaan. Datumenggelar upacara ritual dengan meniup Sordam dan memanggil roh sang putra mahkota.

"Kemudian roh Manggale dimasukkan ke dalam patung yang menyerupai jasadnya," begitu masyarakat setempat menceritakan kisah asal mula Patung Sigale-gale.

Patung Manggale diangkut dari pondok tempat dibuat patung ini di dalam hutan menuju ke istana dengan iringan suara Sordam dan Gondang Sabangunan.

Sordam dan Gondang Sabangunan merupakan alat musik yang dimainkan untuk memohon berkat dari roh para leluhur di Batak Toba.

Setibanya rombongan di istana, Sang Raja tiba-tiba pulih dari sakitnya. Kesembuhan raja akibat menyaksikan patung tersebut benar-benar mirip dengan wajah putra kesayangannya.

Patung tersebut kemudian dinamainya Sigale-gale. Sang Raja berpesan agar patung tersebut ditempatkan cukup jauh dari rumah yakni di Sopo Balian.

Nantinya, saat upacara kematian Manggale, patung itu dapat dijemput untuk menari di samping jenazah putra mahkota. Untuk itulah pertunjukkan Sigale-gale hanya disuguhkan kepada raja yang kehilangan keturunannya.

Akan tetapi, kebiasaan raja tersebut diperluas bagi setiap orang yang tidak memiliki keturunan. Siapapun yang sengaja memesan patung Sigale-gale untuk alasan tersebut dinamakan dengan Papurpur Sapata yang artinya menabur janji.

Ketika kematian sudah tak terelakkan, Sigale-gale dengan tariannya menjadi layaknya obat impian yang pernah kandas bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya.