Pengertian Feminisme
Sebelum beranjak terhadap analisis mengenai dampak patriarki terhadap konflik yang terjadi di Indonesia, alangkah lebih baiknya jika dibuat “kacamata” terlebih dahulu untuk menganalsisnya. Ada beberapa teori mengenai Feminisme, diantaranya :
Feminisme liberal
Perspektif ini dirumuskan Mary Wallstonec Ralf (1759-1799) dalam tulisannya a vindication of the right of right of woman dan John Stuart Mill dalam The Subjection of Woman kemudian Betty Friedan dalam tulisannya The Feminime Mistyque dan The second Stage.
Mereka menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan masuk ke lingkungan publik. Perempuan dianggap kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik sehingga tidak sanggup menjalankan peran di lingkungan publik. Feminisme radikal kemudian menyangkal anggapan tersebut berdasarkan konsep liberal tentang hakikat manusia bahwa manusia memiliki kemampuan yang bisa dibedakan dengan binatang yaitu moralitas-pembuat keputusan yang otonom-dan prudentialitas-pemenuhan kebutuhan diri sendiri sehingga manusia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya.
Feminisme Marxis
Reaksi terhadap pemikiran Feminisme Liberal, Feminisme Marxis bependapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan tindakan individu secara sengaja tapi akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang dekat dengan kapitalisme.
Fokus Feminisme Marxis berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan perempuan, pranata keluarga dikaitkan dengan sistem kapitalisme. Pekerjaan perempuan dalam mengurus rumah tangga dianggap tidak penting dan dianggap bukan pekerjaan. Ganjalan Feminisme Marxis yaitu sekalipun perempuan diberi kesempatan untuk bekerja di luar rumah tapi jika mereka tidak dibebaskan dari tugas rumah tangga maka iu hanya akan menambah beban kerja mereka.
Tokoh-tokohnya antara lain Dalla Costa & Selma James, Nancy Holmstrom. Perhaitan feminisme marxis kini tertuju pada ketidakadilan secara seksual yang berlaku di tempat kerja.
Feminisme Radikal
Perspektif ini lebih pada reproduksi dan seksualitas perempuan. Asumsi dasarnya adalah patriarki oleh karena itu sistem patriarki tidak saja harus dirombak tapi juga harus dicabut sampai ke akar-akarnya.
Adrienne Rich percaya bahwa laki-laki iri dan merasa takut akan kemampuan reproduktif perempuan sebab kehidupan manusia ada di tangan perempuan. Perempuan mampu memelihara kehidupan tapi juga mampu merusak hidup. Oleh karena itu kemampuan ini harus dibatasi. Tokoh lain yaitu Kete Millet lebih pada melihat masalah seksualitas perempuan. Asumsi dasarnya bahwa seks itu politik. Penguasaan laki-laki atas ranah domestik dan publik adalah patriarki, maka untuk membebaskan perempuan dari lingkaran ini adalah dengan menghapus kekuasaan laki-laki tersebut.
Feminisme Psikoanalisis
Perspektif ini bertolak dari teori Freud tentang seksualitas sebagai unsur yang krusial dalam pengembangan hubungan jender. Kritikan diperoleh dari kaum feminis seperti Betty Friedan, Kate Millet, Shulamit Firestone karena mereka tidak setuju teori Freud yang mengatakan bahwa keadaan biologis perempuan dan laki-laki adalah faktor penentu kekuasaan yang patriarki dalam masyarakat dan keluarga.
Kaum feminisme Psikoanalisis menganalisis tahap pra-oedipus kompleks berasumsi bahwa tahapan psikoseksual tersebut adalah kunci untuk memahami seksualitas dan jender yang timpang dimana perempuan pada posisi subordinat. Tokohnya yaitu Freud, Dinnertein, Chodorow, Juliet Mitchell.
Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis muncul karena tidak puas terhadap analisis Feminisme Marxis yang berdasarkan pemikiran marxis yang buta jender. Asumsi Feminisme Sosialis adalah hidup dalam masyarakat kapitalis bukan penyebab utama keterbelakangan perempuan. Feminisme Radikal, sebaliknya telah memberikan analisis tentang jender. Feminisme psikoanalisis gagal mengartikulasi dasar materil bagi ketertindasan perempuan dan struktur kejiwaan.
Feminisme Sosialis mengembangkan dua pendekatan yaitu :
Teori yang menggabungkan penjelasan tentang patriarki yang non materialis dengan kapitalisme yang materialis dengan penjelasan kapitalisme yang materialis. Teori ini menjelaskan patriarki dn kapitalisme adalah bentuk-bentuk hubungan sosial khusus. Teori berganda ini sangat kompleks.
Teori ‘Unifled – system theory ‘, pembagian kerja berdasarkan jender sebagai konsep tunggal. Teori ini berusaha menganalisis kapitalisme dan patriarki bersama-sama dengan dengn menggunakan satu konsep.1
Pengertian Patriarki dan Konflik di Indonesia
Patriarki adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak, lihat: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cet. Balai Pustaka, cet. 3, 1990, hlm. 654. Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia juga yang membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya (juga keagamaan), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki.2
Menurut Bhasin menjelaskan bahwa kata patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau “patriakh (patriarch)”. Pada awalnya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis “keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki”, yaitu rumah tangga besar patriarch yang dikuasai oleh laki-laki (Bhasin, 1996, p.1). Secara detail, patriarki merujuk pada sebuah bentuk organisasi rumah tangga dimana laki-laki mendominasi anggota keluarga yang lain dan mengontrol produksi ekonomi rumah tangga. Patriarki dipandang sebagai ideologi bagaimana laki-laki mendominasi. Masyarakat yang patriarkis adalah masyarakat yang dimana laki-laki memiliki kekuatan dan kontrol. Perempuan biasanya dieksploitasi, dirugikan dan mempunyai status yang lebih rendah.
Kultur patriarki mempengaruhi pola pikir masyarakat. Perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja yang panjang dan lebih banyak serta sosialisasi ideologi peran gender (Fakih, 1999 : 12-13). Sementara itu peran-peran sub ordinasi paling umum diperankan oleh perempuan dalam hubungan kekuasaan: perempuan berperan sebagai korektor (fixer), ia ingin hubungan itu stabil, harmonis dan menyenangkan; perempuan sebagai penyenang (pleaser), ia mencoba memenuhi harapan laki-laki; perempuan sebagai suhada (martyr) : ia ingin pasangannya hidup senang sekalipun mengorbankan dirinya. Ketidakadilan gender yang ada dalam suatu rumah tangga akan menghasilkan konflik diantara suami istri yang jika dibiarkan terus berlanjut akan mengakibatkan perceraian. Hubungan perkawinan antar suami dan istri merupakan ikatan sentral persatuan keluarga di dalam masyarakat, apabila ikatan ini pecah, keluarga juga akan pecah. (Ihromi, 1999 : 167).3
Dalam kehidupan rumah tangga, laki-laki ditempatkan secara budaya sebagai kepala rumah tangga sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga dimana posisinya selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Perempuan dipandang lebih utama untuk berkiprah di sektor domestik, membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan mengasuh anak. Jika ia bekerja di sektor publik, disamping harus memilih pekerjaan yang sesuai dengan kodratnya, dia tetap sebagai pembantu suami dalam memenuhi kebutuhan nafkah keluarga.
Konflik di dalam masyarakat Indonesia dapat diawali dari konflik rumah tangga, hal ini terjadi karena rumah tangga merupakan komunitas terkecil yang memiliki pemahaman patriarki. Secara keseluruhan (kecuali Minagkabau), masyarakat Indonesia menganut patriarki sehingga pemikiran laki-laki lebih dominan dalam masyarakat pun semakin kuat.
Sebagian besar konflik yang terjadi dikarenakan maskulinitas kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Hanya sedikit yang mempertimbangkan ke-femininitasan. Masyarakat Indonesia secara kultural memang sangat kental dengan adat patriarki. Hampir semua konflik yang terjadi karena adanya kebijakan penyelesaian dengan kekerasan. Bahkan, ketika Presiden Indonesia perempuan yakni Megawati Soekarnoputri pun menggunakan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menggunakan kekuatan militer yang sangat membuat traumatis bagi masyarakat Aceh.
1 http://www.kabarpapua.com//modules.php?name=News&file=print&sid=346
2 http://simoelmughni.multiply.com/journal/item/70
3 http://yolagani.wordpress.com/2007/11/23/campursari-ala-didi-kempot-perempuan-dan-laki-laki-jawa-mendobrak-patriarki/
No comments:
Post a Comment