Powered By Blogger

Home

Thursday, 30 January 2014

Inilah Destinasi Wisata Tsunami Aceh Part 6 : Monumen Aceh Thanks To..

6. Monumen Aceh Thanks to the World

Monumen Aceh Thanks to the World terletak di Blang Padang, tepat di depan Museum Tsunami Aceh. Monumen ini menjadi simbol syukur masyarakat Aceh kepada relawan, LSM, lembaga-lembaga negara, perusahaan, sipil, militer, baik nasional maupun internasional yang telah membantu Aceh pasca-tsunami.

Bangunan berwarna putih tersebut terletak di sebelah utara lapangan berbentuk seperti gelombang tsunami yang mengingatkan siapa saja yang melihatnya bahwa Aceh pernah dilanda bencana mahadahsyat gelombang tsunami.

Selain monumen, rakyat Aceh mengucapkan terima kasih mereka kepada negara-negara tersebut yang telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti/plakat persahabatan.

Disepanjang jogging track yang mengelilingi lapangan Blang Padang sepanjang 1 Km, terdapat 53 “Plakat Thank You and Peace”. Plakat yang berbentuk kapal hampir tenggelam itu merupakan bentuk terima kasih masyarakat Aceh kepada 53 negara dan masyarakat dunia yang telah membantu Aceh pasca-tsunami.

Pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing negara. contohnya tugu kecil Republik Finlandia yang bertuliskan “Kiitos Rauha” yang artinya “Terima Kasih dan Damai”.

Pada awalnya lapangan Blang Padang seluas 8 Hektare itu tidak seperti sekarang ini. Dulunya lapangan ini hanya di gunakan bila ada upacara-upacara bendera yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Namun, kini lapangan Blang Padang Banda Aceh telah berubah menjadi alun-alunnya kota Banda Aceh semenjak lapangan ini di renovasi pasca kerusakan akibat gempa dan tsunami Aceh.

Disisi yang lain terdapat pula benda yang bersejarah lainnya di lapangan ini. Sebuah replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah.

Pesawat ini adalah pesawat pertama milik Republik Indonesia yang dibeli dari uang sumbangan rakyat Aceh kepada Pemerintah pada saat itu. Inilah cikal-bakal berdirinya perusahaan penerbangan niaga pertama di Indonesia yaitu, Indonesian Airways.

Sejarah mencatat di Hotel Kutaraja pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno yang saat itu sedang mencari dana untuk keperluan membeli pesawat Dakota berhasil membangkitkan nasionalisme dan patriotisme rakyat Aceh hingga akhirnya terkumpul sumbangan rakyat Aceh senilai 20 Kg emas.

Pesawat ini digunakan oleh Presiden Soekarno dalam tugas kenegaraan ke negara-negara lain untuk meminta pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat gelombang tsunami menerjang Banda Aceh 26 Desember 2004 silam, monumen ini tidak hancur oleh terjangan gelombang Tsunami.

Di Lapangan Blang Padang juga ada tugu peringatan tsunami. Tugu ini didirikan untuk mengenang hari bersejarah dalam hidup manusia yaitu bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di pesisir pantai Asia Pasifik.

Lapangan Blang Padang kini menjadi tempat umum yang terbuka untuk berolahraga dan relaksasi. Di lapangan ini terdapat jogging track, lapangan sepak bola, basket, dan pilar untuk melakukan fitness ringan.


Pada setiap akhir pekan, lapangan Blang Padang menjadi lokasi favorit keluarga Banda Aceh untuk dikunjungi. Selain sejuk dengan pepohonan, di lapangan ini juga terdapat areal wisata kuliner yang sayang untuk dilewatkan.

Inilah Destinasi Wisata Tsunami Aceh Part 5 : Kuburan Massal

5. Kuburan Massal

Gelombang tsunami yang menelan korban jiwa hingga mencapai 240.000 orang tidak hilang dari ingatan masyarakat Aceh. Di Bumi Rencong itu terdapat banyak kuburan massal untuk memakamkan para korban tsunami.

Salah satu kuburan massal yang paling banyak terdapat korban dimakamkan adalah di Ulee Lheue dan Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Korban yang dikuburkan di kuburan missal Ulee Lheue lebih dari 14.264 orang. Kuburan massal ini biasanya dipadati peziarah yang kehilangan sanak keluarganya saat bencana tsunami meyapu pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Kuburan massal Ulee Lheue dibangun seperti sebuah taman dengan rumput hijau dan pepohonan rindang. Kuburan massal ini dipagari tembok yang masih dapat dilihat dari luar areal.

Lokasi kuburan yang berada tepat di tepi jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue tepatnya di Jalan Pocut Baren Nomor 30, ini memang mudah dijangkau. Di depan areal juga terdapat prasasti yang bertuliskan kuburan massal.

Pada gerbang masuk kuburan massal berwarna hijau ini terdapat tulisan yang diambil dari salah satu surat dalam Al-Quran. Tulisan ini membuat bulu kuduk berdiri dan siapapun akan langsung merasakan kengerian bencana tsunami.

"Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan," (Al-Anbiya : 35).

Selain di kuburan massal Ulee Lheue, terdapat juga beberapa kuburan massal lainnya antara lain kuburan massal Lhoknga, Aceh Besar dan kuburan massal Siron di Jalan Bandara Sultan Iskandar Muda.


Di kuburan massal Siron, menjadi areal pekuburan massal terbesar di Aceh. Tercatat hampir 50.000 korban tsunami dimakamkan di areal ini sehingga kuburan massal tersebut paling banyak dikunjungi peziarah.

Tuesday, 14 January 2014

Komunitas Medan Petualang : Jelajahi Keindahan Sumut Perkenalkan Pada Dunia



Kemunculan komunitas-komunitas penggila jalan-jalan di Indonesia beberapa waktu terakhir sepertinya juga terjadi di Ibukota Sumatra Utara, Medan. Komunitas berbasis hobi travelling ini mulai banyak muncul demi mengakomodir minat pencinta wisata baik yang berbiaya murah maupun mahal.

Adalah Komunitas Medan Petualang, sebuah komunitas yang terdiri dari berbagai latar belakang anggotanya ini juga mulai menunjukkan taringnya. Komunitas ini berdiri secara resmi pada 14 Januari 2012.

Aulia Ramadhan Ray yang didapuk sebagai panglima, sebutan ketua di komunitas ini, mengisahkan awal terbentuknya Komunitas Medan Petualang kepada Bisnis.

Pada Oktober 2011, dia bersama Ilman, rekannya di kampus Universitas Negeri Medan (Unimed) ingin menggelar kegiatan untuk mengisi pergantian tahun.

Mereka berdua menginginkan untuk membuat event yang berbeda dari biasanya. Jika biasanya mereka mendaki gunung, kali ini tempat baru yang sangat jarang diekspos dan diketahui masyarakat menjadi tujuan untuk merayakan tahun baru 2012.

Pulau Berhala adalah tujuannya. Lokasi pulau yang tidak jauh dari Medan tepatnya di Kabupaten Serdang Bedagai ini merupakan pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Saat itu, Pulau Berhala belum sesohor sekarang. Estimasi biaya kala itu juga masih sangat terjangkau bagi kalangan mahasiswa. Dia mengajak rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam UKM Teater Unimed yang sama-sama memiliki hobi jalan-jalan. 

Gayung bersambut, sebanyak 16 orang akhirnya memutuskan untuk ikut menyeberangi lautan menuju Pulau Berhala. Tak satupun dari mereka yang pernah menginjakkan kaki di pulau yang hanya dihuni oleh Tentara penjaga perbatasan itu.

Tepat pada 29 Desember 2011 mereka berangkat dari Pantai Cermin sejak pukul 07:00 WIB. Mereka menggunakan jasa perahu nelayan berkapasitas 20 orang karena tidak ada kapal rutin untuk menuju ke pulau itu.

Berbekal riset dari internet, kalkulasi biaya awal sekitar Rp250.000-Rp300.000 per orang untuk 2 hari 1 malam. Untuk ukuran mahasiswa, biaya itu perlu ditabung agar mereka bisa memenuhinya.

Menyeberangi lautan Selat Malaka, kapal nelayan itu dipacu selama 5 jam. Sekitar tengah hari bolong, rombongan tiba di Pulau Berhala dan disambut oleh marinir TNI AL dengan menyerahkan surat izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai.

"Kami tidak ada membawa bekal makan siang, lalu kami membangun tenda dan masak. Itu pertama kalinya kami sampai di Pulau berhala menjelang tahun baru," ungkap Aulia.

Di Pulau Berhala, sambungnya, terdapat dua pulau lainnya yang berjarak tak jauh bahkan jika air laut tengah surut dapat dijangkau dengan berjalan kaki. 

Akibat begit antusiasnya mereka tiba di sebuah privat island, Aulia dan teman-temannya tidak melewatkan setiap sudut pulau nan indah itu. Mereka mengunjungi penangkaran penyu yang dikelola oleh marinir, melihat penyu-penyu bertelur dimalam hari, tracking keliling pulau, hingga snorkling melihat terumbu karang.

Mereka juga menaiki 700 anak tangga mercusuar untuk menyaksikan sekeliling pulau dari ketinggian. Jika cuaca tengah mendukung, pada malam hari tampak lampu-lampu berkedip-kedip di daratan Malaysia.

Kenyang dengan pengalaman baru di Pulau Berhala, mereka kembali ke Pulau Sumatra menumpang perahu yang sama. Perahu nelayan itu rela menunggu dengan tarif sewa Rp2 juta selama 2 hari. 

Saat perjalanan pulang, perahu dikayuh sejak pukul 11:00 WIB dari ulau itu. Mereka tidak lagi membawa persediaan logistik cukup banyak. Hanya persediaan makan seadanya untuk 16 orang itu.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 4 jam, ternyata setelah 3 jam mengarungi Selat Malaka mereka belum kunjung melihat daratan. Sang nelayan menguji arah perahu secara tradisional, ternyata baru sadar kompas yang digunakan telah rusak.

Akibatnya, hingga malam tiba mereka masih terkatung-katung di lautan. Hampir 12 jam mereka mengarungi lautan tanpa tau arah hingga akhirnya bertemu dengan nelayan lain dan dipandu untuk kembali ke arah Pantai Cermin.

Tengah malam mereka sampai di daratan Serdang Bedagai dan akhirnya memutuskan untuk menginap. Orang tua masing-masing cemas karena tidak kunjung mendapatkan kabar. Mereka tiba di Medan tepat pada 3 Januari 2012. 

Setelah perjalanan mendebarkan itu, masing-masing anggota berkomunikasi dan disepakati diadakan syukuran. Di sebuah rumah makan tepatnya Pasar Merah Square, Medan, mereka menggelar syukuran dari dana perjalanan yang masih tersisa.

"Disitu kami bicarakan ketimbang jalan-jalan enggak jelas, tercetuslah ide bikin komunitas. Nama Medan Petualang secara resmi kami sepakati pada 14 Januari 2012," kisahnya.

Hingga saat ini, Komunitas Medan Petualang telah memiliki anggota lebih dari 700 orang. Mereka rutin mengadakan trip murah meriah baik menggunakan sepeda motor maupun mobil ke lokasi-lokasi yang belum dikenal luas.

Komunitas yang terbuka bagi siapa saja ini berharap untuk memperkenalkan keindahan Sumatra Utara kepada dunia. Danau Linting, Kawah putih Tinggi Raja, Air Terjun Dua Warna, Tangkahan, hingga sisi lain Danau Toba, coba diperkenalkan melalui media sosial.

Anggotanya kini tak hanya mahasiswa Unimed, tetapi telah menyusup ke semua kalangan mulai dari pelajar, PNS, pegawai swasta, pengusaha, hingga pensiunan. Tak ada batasan usia untuk mengikuti komunitas ini.

Syarat untuk bergabung dengan Medan Petualang hanyalah hobi jalan-jalan. Dari hanya 16 orang itu, kini komunitas Medan Petualang menjadi salah satu komunitas yang besar di Medan.

"Awalnya hanya ingin memuaskan dahaga travelling karena Sumut memiliki objek wisata yang indah, tapi kini kami juga bisa membawa orang atau menjadi tour guide bagi yang ingin melihat sisi lain Sumut," paparnya.

Menurut dia, potensi pariwisata Sumut itu tidak kalah dengan Bali. Permasalahnnya, dari pengalaman trip bersama Medan Petualang, sarana dan prasarana objek wisata Sumut sangat memprihatinkan.

Selain infrastruktur jalan yang tragis, perhatian pemerintah setempat terhadap objek wisata juga dinilai masih sangat minim. Mereka belum mempromosikan destinasi wisata dengan maksimal termasuk kesadaran wisata masyarakatnya juga perlu ditingkatkan.

Tidak hanya itu, komunitas ini juga menggelar kegiatan-kegiatan sosial seperti saat Gunung Sinabung di Kabupaten Karo meletus pada September lalu. Komunitas Medan Petualang menggalang dana dari anggotanya untuk membantu masyarakat yang menjadi korban.

******

Nama Komunitas : Medan Petualang
Panglima : Aulia Ramadhan Ray
Sekretaris : Abdur Rahman
Bendahara : Anshari Siregar
Facebook : Grup Medan Petualang
Twitter : @Medan_Petualang
Kontak : 085261421110

*******

Friday, 10 January 2014

Inilah Destinasi Wisata Tsunami Aceh Part 4 : Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman mencatat lembaran sejarah yang begitu melekat bagi masyarakat Banda Aceh. Masjid yang berada tepat di jantung Kota Banda Aceh ini menjadi tempat berlindung ribuan orang saat tsunami menyapu kota.

Masjir Raya Baiturrahman dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1022 Hijriyah/1612 Masehi. Masjid ini kemudian terbakar habis pada saat agresi militer Belanda kedua pada April 1873.

Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu.

Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100% beragama Islam.

Pada tahun 1992, dilakukan pembangunan dengan penambahan dua kubah dan lima menara. Selain itu, dilakukan perluasan halaman masjid sehingga total luas area masjid saat ini menjadi 16.070 meter persegi.

Saat gelombang tsunami setinggi 21 meter menghantam pesisir Banda Aceh pada 26 Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan yang selamat, meskipun terjadi kerusakan di beberapa bagian masjid.


Upaya renovasi pasca-tsunami menelan dana sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut berasal dari bantuan dunia internasional, antara lain Saudi Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15 Januari 2008. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman menjadi pusat pengembangan aktivitas keislaman bagi masyarakat Banda Aceh. 

Monday, 6 January 2014

Inilah Destinasi Wisata Tsunami Aceh Part 3 : Kapal Apung Lampulo


Kapal nelayan ini menjadi bukti keganasan gelombang tsunami berikutnya. Kapal yang saat itu baru selesai diperbaiki terseret ombak sejauh 3 Km dan mendarat tepat di atas sebuah rumah milik penduduk di Gampong Lampulo, Banda Aceh.

Masyarakat Banda Aceh kemudian menyebutnya dengan kapal apung Lampulo. Kapal ini tercatat telah menyelamatkan nyawa 59 orang yang menumpang di atasnya dari hempasan dahsyat tsunami.

Dari informasi di lokasi yang kini menjadi objek wisata tsunami itu menyebutkan sebelum kejadian dahsyat tersebut, kapal kayu dengan panjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini baru selesai menjalani perbaikan di tempat docking kapal Lampulo.



Adun, sang penjaga kapal sebelumnya mendapat instruksi untuk menurunkan kapal tersebut ke sungai pada hari itu, 26 Desember 2004.

Teuku Zulfikar yang berdomisili di Medan mendapat kabar dari adiknya Hasri dan Saiful bahwa kapal itu rencananya akan dibawa ke Lhoknga untuk diisi pukat.

Sebelum rencana itu berjalan, tsunami telah terlebih dahulu menghanyutkan kapal berbobot 20 ton ini ke perumahan warga yang berjarak sekitar 3 Km dari tepi sungai.

Saat ini, Kapal yang mendapat julukan 'Kapal Nuh' dari masyarakat Aceh ini ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kebanyakan dari mereka ingin menyaksikan langsung bagaimana sebuah kapal yang menjadi saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami pada 2004 silam.



Pada sisi kapal terdapat penyangga yang terbuat dari besi untuk menahan kapal agar tetap berada pada posisinya dan di bagian atas kapal juga sudah diberi atap. Terdapat pula lahan parkir yang nyaman bagi pengunjung yang membawa kendaraan pribadi, selain itu juga sudah disediakan toilet umum yang dapat digunakan pengunjung secara gratis.