China dianggap memiliki potensi untuk pengembangan bisnis, baik ekspor maupun impor.
Selasa, 10 Mei 2011, 14:04 WIB
Arinto Tri Wibowo, Sukirno
Survei HSBC
VIVAnews - Di tengah pro dan kontra terhadap perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA), sebagian pelaku usaha menganggap Negeri Tirai Bambu itu sebagai mitra dagang utama hingga enam bulan ke depan.
China dianggap memiliki potensi untuk pengembangan bisnis, baik ekspor maupun impor. Selain China, para pengusaha juga mengandalkan hubungan perdagangan dengan ASEAN dan negara Asia lainnya.
Pandangan pelaku usaha itu terungkap dalam survei HSBC tentang Trade Confidence Index (TCI) periode semester I-2011. Trade Confidence Index itu mengukur tingkat optimisme pelaku perdagangan internasional serta pandangan terhadap pertumbuhan bisnis ekspor dan impor.
Menurut hasil survei itu, meskipun turun satu poin dibandingkan enam bulan lalu, indeks optimisme pelaku bisnis ekspor dan impor Indonesia masih tergolong tinggi di tengah inflasi yang menggerus margin keuntungan mereka.
"Hasil TCI kali ini cukup mengejutkan, indeks Indonesia berada di angka 123 atau turun satu poin dari enam bulan sebelumnya. Sementara itu, Malaysia hanya 97, yang berarti pesimistis, karena angka netral di level 100," kata Head Trade and Supply Chain HSBC Indonesia, Nirmala Sari, di Jakarta, 10 Mei 2011.
Indonesia dapat dikategorikan paling optimistis di antara pelaku usaha di negara-negara ASEAN dan nomor empat dari 21 negara yang di survei. Survei tersebut mengambil sampel di 21 negara, di antaranya Australia, India, Inggris, China, Amerika Serikat, Malaysia, Indonesia, dan lainnya.
Survei melibatkan 6.390 perusahaan skala kecil dan menengah yang memiliki aktivitas ekspor dan impor. Untuk di Indonesia, pelaksanaan survei yang ketiga kali mulai Februari hingga April 2011 dengan sampel 300 pengusaha kecil dan menengah di Jakarta dan Surabaya.
Berdasarkan hasil TCI tersebut, para pelaku perdagangan internasional mengaku hambatan terhadap pertumbuhan usaha perdagangan di antaranya adalah regulasi pemerintah mengenai perdagangan dan fluktuasi nilai tukar mata uang. Selain itu, terdapat keterbatasan pengetahuan mengenai peraturan perdagangan internasional dan informasi pasar bagi pengusaha Indonesia.
"Hasil TCI yang paling mencolok selain optimisme pelaku usaha adalah juga terkait tujuan perdagangan. China menempati urutan pertama, dan ASEAN serta negara Asia lainnya menempati urutan kedua dan ketiga," ungkap Nirmala.
Peningkatan volume perdagangan yang paling tinggi adalah dengan China. Sejak 2009 hingga 2011 terjadi peningkatan volume perdagangan yang cukup signifikan.
Hal itu juga diungkapkan oleh Sekjen Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), Fajar AD Budiyono, dalam acara yang sama.
"Total nilai perdagangan, misalnya plastik, pada 2009 sekitar Rp750 miliar sebelum meningkat menjadi Rp1,1 triliun pada 2010. Tahun ini, kami optimistis bisa mencapai Rp1,6 triliun," kata Fajar.
Tren perdagangan antarkawasan, menurut dia, diperkirakan terus meningkat dan perdagangan akan menjadi kunci utama penggerak pertumbuhan ekonomi di Asia menggantikan konsumsi domestik. Untuk itu, penting bagi Indonesia untuk menjadi pemain aktif dalam skema perdagangan lintas batas yang terus berkembang ini.
• VIVAnews
No comments:
Post a Comment