Powered By Blogger

Home

Monday, 23 May 2011

Tumpang Tindih, 6.000 Izin Konsesi Tambang

Pemerintah akan membentuk tim guna menyelesaikan persoalan perizinan yang tumpang tindih.
Senin, 23 Mei 2011, 12:52 WIB
Syahid Latif, Sukirno


VIVAnews - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengungkapkan 6.000 dari 8.000 izin pengelolaan pertambangan di Indonesia atau sekitar 75 persen berstatus tumpang tindih antara satu pengelola dengan pengelola lainnya.

"Soal izin yang tumpang tindih harus ditertibkan. Tadi dilaporkan dari 8.000 izin, ada 6000 izin yang tumpang tindih," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa, di kantornya, Jakarta, Senin, 23 Mei 2011.

Hatta menjelaskan tumpang tindihnya izin pemanfaatan hutan maupun areal pertambangan biasanya berasal dari persoalan yang ada di daerah. Umumnya permasalahan menyangkut pergantian kepala daerah maupun banyaknya izin pengelolaan untuk kegiatan pertambangan atau non tambang yang keluar pada satu lokasi konsesi.

"Misal, ada perusahaan A minta izin A, mungkin karena ganti bupati atau apa, diberikan ke perusahaan B untuk tempat yang sama misalnya untuk konsesi Hutan Tanaman Industri, pertambangan juga, diterbitkan lebih dari satu ijin," kata Hatta.

Melihat banyaknya jumlah izin pengelolaan hutan maupun pertambangan yang tumpang tindih, pemerintah memastikan akan memberikan perhatian serius pada masalah perizinan ini.

Bahkan, pemerintah berencana membentuk tim yang akan menyelesaikan persoalan perizinan ini dibawah koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Tentu kita ingin lapangan kerja, menyejahterakan masyarakat, kita ingin pendapatan negara, tetapi kita juga tidak ingin lingkungan rusak," kata dia.

Selama ini pemerintah memastikan akan konsisten menerapkan prinsip pengelolaan lingkungan seperti tertuang dalam Undang-undang Mineral, Energi, dan Batubara (Minerba). Dalam UU tersebut diungkapkan bahwa kegiatan pertambangan harus memperhatian empat hal yaitu kegiatan yang meningkatkan nilai tambah, tidak menjual bahan baku, pengembangan wilayah, serta mendorong industri melakukan negosiasi ulang dari kontrak karyanya dengan pemerintah.

"Kita menghormati UU yang lama, tetapi membicarakan terutama menyangkut royalti dan lainnya yang dianggap belum adil. Kita ingin yang adil, baik untuk perusahaan, baik juga untuk penerimaan negara," ujar Hatta.

Seperti diketahui, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru bagi hutan alam primer dan lahan gambut. Inpres moratorium tersebut juga mengatur penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. (eh)
• VIVAnews

No comments:

Post a Comment