Powered By Blogger

Home

Saturday, 18 June 2011

5 Etika Dasar Jurnalisme

Jurnalisme akhir-akhir ini berkembang pesat. Cabang-cabang baru ilmu jurnalisme bermunculan. Mulai dari jurnalisme warga, kemudian jurnalisme blog, jurnalisme jejaring sosial dan seterusnya. Sebagian orang mengatakan cabang-cabang baru ini berbeda dengan cabang jurnalisme warga dan jurnalisme mainstream. Memang berbeda. Namun jurnalisme tetaplah jurnalisme. Ada beberapa hal yang menjadi menjadi syarat bahwa suatu tulisan bisa disebut jurnalisme ataukah bukan.

Berikut ini adalah terjemahan dari artikel dengan judul The Five Fundamentals of Journalism Ethics yang dimuat di dupreyethics.blogspot.com


Ada lima etika dasar yang harus dipenuhi sebuah tulisan agar bisa disebut sebagai produk jurnalistik:


1. Melaporkan kebenaran, bukan yang lain

Apa yang akan terjadi jika seorang jurnalis gagal melaporkan kebenaran. Yang terjadi adalah ia akan mempermalukan profesi jurnalisme. Walter Lippmann, seorang pakar jurnalisme pada awal abad 20, mengatakan, “Dalam jurnalisme tak ada hukum yang lebih tinggi dari mengatakan kebenaran dan mempermalukan setan.”

Dalam era digital ini banyak penulis, terutama blogger, yang mempublikasikan tulisan dulu, baru mengecek kebenarannya kemudian. Jika jurnalis melakukannya, ini akan membuat suram masa depan jurnalisme. Sebagai panduan reportase, jurnalis harus memeriksa ulang semua materi yang akan disajikan. Tulisan nama, kutipan langsung wawancara adalah contohnya. Kutipan langsung juga harus disajikan dalam konteks yang utuh, tidak dipotong.

Sebagai tambahan, selalu sediakan kesempatan untuk mendengar pendapat dari ke dua pihak. Dan hindari head line yang menyesatkan. Karena semua pembaca untuk mudahnya hanya membaca head line dan membuat asumsi isi artikel berdasar head line.

2. Bertindak secara independen


Perilaku jurnalis haruslah independen terhadap loyalitas perusahaan dan aparat pemerintahan. Jurnalis harus ingat bahwa loyalitas pertama mereka adalah terhadap pembaca, bukan pemasang iklan atau politikus narasumber. Jurnalis tak boleh memiliki hubungan yang terlalu nyaman dengan sumbernya karena jika hal ini terjadi jurnalis akan enggan memberitakan hal negatif mengenai narasumber.

Jurnalis juga harus menjadi pengawas pemegang kekuasaan, yang memastikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tak dilakukan. Memang jurnalis harus memiliki hubungan yang baik dengan sumber-sumber berita, terutama sumber berita yang memiliki posisi penting. Jurnalis harus menciptakan keseimbangan, dekat dengan sumber informasi sehingga mendapat informasi yang akurat, sekaligus menjaga jarak sehingga hubungan ini tidak mempengaruhi keputusan mana berita yang akan ditulis dan mana yang tidak.

3. Transparan


Jurnalis harus mengungkapkan konflik kepentingan yang terjadi, terutama terkait dengan hubungan kekeluargaan. Transparansi menjadi isu besar dalam jurnalisme.

Pelabelan (pemberian keterangan pada identitas penulis/narasumber) tak boleh berhenti hanya pada pembedaan artikel kisah atau iklan. Blogger dan penulis opini harus menyediakan disclaimer (menyangkal berpihak hanya karena ikatan tertentu) sebagai catatan atas pandangan mereka, terutama dalam hal politik. Dengan cara ini maka pembaca tahu apa yang diharapkan akan muncul dan akan tidak sembrono merasanya sebagai sumber yang tak memihak. Jika seorang jurnalis atau blogger mendapat informasi, mereka ingin tahu dari mana asalnya dan bias atau konflik yang terjadi padanya. Oleh karena itu penting memberikan atribut pada sumber informasi. Hal ini tentu tak bisa diberikan pada sumber anonim.

4. Menyeleksi secara sensitif


Dalam jurnalisme ada prinsip untuk meminimalkan kerugian.

Jurnalis harus selektif dan meminimalkan kerugian dalam pemberitaan mengenai tragedi. Ketika mewawancarai janda korban atau keluarga korban, jurnalis harus ramah, gentle dan bersikap pantas diterima. Jurnalis tak boleh terlalu agresif dalam mencari jawaban.

Dalam kasus seperti ini, jurnalis harus membawakan “kudung ketidaktahuan” (veil of ignorance). John Rawl mengatakan, “keadilan akan muncul ketika negosiasi dilakukan tanpa pembedaan sosial.” Seperti ketika Operah Winfrey mewawancarai Vicky Kennedy, janda senator Ted Kennedy, ia harus menempatkan dirinya pada kaki sang janda sebelum melakukan wawancara.

5. Menempatkan Etika melampaui aturan hukum


Hukum adalah dokumen yang membimbing praktek semua anggota dalam komunitas. Namun tak semuanya harus demikian. Sesuatu yang ilegal tak langsung bermakna tak etis dilakukan. Hukum dan etika adalah dua hal yang berbeda. Misalnya paksaan bagi jurnalis untuk memberikan kesaksian atau menyebutkan nama (untuk narasumber yang minta anonim). Dalam kasus seperti ini wartawan bisa diancam hukuman penjara jika menolaknya.

Tambahan :

1. Idelisme
sebagai jurnalis, wartawan harus mempertahankan idealisme dalam dirinya, jangan mau mudah percaya dengan kata-kata orang. harus ada bukti yang LOGIS DIALEGTIS dan juga faktual serta aktual dalam penyampaian beritanya. Jangan sampe tulisannya itu karena ada "AMPLOP" terselubung.

2. Professional
Jurnalis kini menjadi ruang kerja, mungkin dulu jadi "KULI" tinta namun sekarang orang segan terhadap jurnalis, bahkan informasi kini menjadi komoditi ekonomi penting dunia, bayangkan hanya demi sebuah berita orang bisa hancur reputasinya atau bahkan meningkat secara drastis, itulah butuh professionalisme dalam mengelola prinsip jurnalisme.

3. Bertanggung jawab sosial.
Setelah keluarnya UU No.40/1999 Pers Indonesia kini menjadi pers yang bertanggung jawab kepada masyarakat bukan pada pemerintah lagi sehingga kini media harus mendukung keinginan rakyat, sebagai penyalur atau pengingat pemerintahan baik itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tidak heran mengapa jurnalis kini disebut the fourth state sebagai pengawas pemerintah yang andil dalam masyarakat.

1 comment:

  1. Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9065491

    ReplyDelete