Powered By Blogger

Home

Monday, 11 July 2011

Jeruji Besi di Kotak iPad

Menjual iPad dari Singapura berujung bui. Kenapa buku manual bisa menjadi soal serius?
Jum'at, 8 Juli 2011, 22:52 WIB
Indra Darmawan, Sandy Adam Mahaputra, Sukirno, Siti Ruqoyah, Nur Eka Sukmawati


VIVAnews - Pesan itu begitu singkat. Terpampang di salah satu dari ribuan thread yang ada di forum komunitas online terbesar Indonesia, Kaskus. “Jual iPad 64GB 3G, Bnib (Brand new in box - red), 8.8jt nego, Ready stock. COD (Cash On Delivery –red) Binus, Sudirman Thamrin.” Pembuat pesan tak lupa membubuhkan nomor ponsel dan PIN BlackBerry-nya agar mudah dihubungi. “Yuk Gan, diborong.. ga rugi deh, dijamin,” ditutup dengan ikon wajah senyum smiley.

Pembuat thread itu adalah ‘Mendung’. Dia seorang Kaskuser, yang tak lain adalah Galih Pratidina Maharsiwi, seorang ibu rumah tangga berusia 31 tahun. Selasa, 12 Oktober 2010 itu, akun Kaskus milik Galih digunakan suaminya, Dian Yudha Negara, 41, untuk menjual dua unit iPad yang tak jadi dipakainya. Baik Galih dan Dian tak pernah menyangka, penawaran iPad itu akhirnya menyeret Dian dan rekan se-almamaternya, Randy Lester Samu Samu, ke hotel Prodeo.

Sebab, dari thread itulah seorang petugas kepolisian dari Direktorat Jendral Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Brigadir Polisi Eben Patar Opusunggu, tertarik menyelidiki asal muasal iPad yang dijual. Maklum saja, saat itu Apple memang belum meluncurkan iPad secara resmi di Indonesia. Telkomsel, baru membundel tablet komputer itu dengan layanan datanya, pada November 2010. Harganyapun saat itu masih di atas Rp 10 juta.

Dari postingan itu, Eben mencatat PIN BlackBerry Galih. Pada Selasa 16 November 2010, melalui layanan pesan instan BlackBerry Messenger, Eben menanyakan stok iPad yang tersedia. Hanya dua unit, jawab Galih kepada Eben. Bak pembeli sungguhan, Eben minta dicarikan 10 unit. Galih tak curiga. Ia berjanji, suaminya, Dian, akan membantu mengusahakan.

Setelah itu Dian mengontak kembali Randy, 29, sesama alumni teknik perminyakan Institut Teknologi Bandung yang sebelumnya menjual dua iPad kepadanya. Saat itu Randy pun mengaku sedang tak punya stok iPad. Namun, dua hari kemudian Randy menghubungi Dian dan memberitahu bahwa ia memiliki enam unit iPad 3G 16GB.

Dian meminta Galih untuk memberitahukan kabar itu kepada Eben. Eben setuju membeli enam iPad tambahan itu, disamping dua iPad 3G 64GB milik Dian. Setelah menyepakati harga, Galih meminta Eben mentransfer uang muka sebesar Rp 100 ribu per unit untuk enam iPad 3G 16GB.

Eben mentransfer Rp 600 ribu ke rekening Dian. Mereka sekaligus membuat janji bertemu pada Rabu siang 24 November 2010, untuk pengambilan barang. Tempatnya: restoran Waroeng Kita di City Walk, tak jauh dari kantor perusahaan milik Dian, PT Aryajaya Formasi, di Apartemen Cityloft.

Saat itulah Dian dan Randy masuk ke dalam perangkap polisi.

***

Siang itu Eben menemui Randy di Waroeng Kita City Walk. Eben tak sendirian. Ia ditemani dua petugas kepolisian lain, Ipda Dimas Ferry Anuraga dan Bripka Suhadi. Sementara, Dian yang tengah rapat urusan pekerjaannya, baru menyusul bergabung dengan mereka belakangan.

Para petugas mengecek barang-barang yang hendak dijual. Ternyata, barang-barang itu tak dilengkapi dengan label sertifikasi dari Ditjen Postel, garansi purna jual dan buku manual dalam bahasa Indonesia. Inilah pangkal bencana bagi Dian dan Randy. Sebab, peraturan perundangan mensyaratkan kelengkapan dokumen tadi, bagi perangkat telekomunikasi yang diperjual belikan di Indonesia.

Bukannya meraih keuntungan, penjualan iPad ini malah mengubah status Dian dan Randy menjadi tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 8 ayat 1 huruf J UU No 8/1999 mengenai Perlindungan Konsumen serta Pasal 32 Ayat 1 UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.

Undang-undang Perlindungan Konsumen melarang perdagangan barang yang tak mencantumkan informasi atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia. Sementara Undang-undang Telekomunikasi mensyaratkan sertifikasi terhadap perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan di sini. Tantangan terberat bagi Dian dan Randy datang dari UU Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.

“Saya sempat syok. Kita tak pernah membayangkan masalah penjualan ini akhirnya jadi seserius ini,” kata Galih. Padahal, kata Galih, dirinya dan Dian awalnya membeli iPad dari Randy hanya karena berniat memberikannya sebagai hadiah bagi ibu dan adik Galih.

“Adik saya tanggal 30 Oktober 2010 baru saja lulus menjadi seorang dokter. Saya ingin menghadiahi iPad ini untuk dia,” kata Galih. Tapi belakangan adik Galih menolak dihadiahi komputer tablet itu. “Saya mendingan dikasih mentahnya saja deh ,” kata Galih menirukan permintaan adiknya itu.

Penolakan yang sama juga diungkapkan oleh ibu Galih. Ibunya yang tinggal di Surabaya, kata Galih, merasa kurang perlu menggunakan iPad dan merasa sayang karena harga iPad dinilainya mahal. “Daripada ditumpuk tak terpakai, ya akhirnya kami memutuskan untuk menjualnya,” kata Galih.

Alasan kurang lebih sama dikemukakan oleh Mega, istri Randy. Menurut perempuan 26 tahun itu, suaminya membeli enam unit iPad saat liburan bersama keluarga di Singapura. Awalnya enam iPad itu dibelinya untuk sanak keluarga, mengingat di negeri jiran itu iPad bisa dibeli dengan harga yang lebih murah.

"Ternyata keluarga tidak ada yang mau. Teman-teman kantor juga belum ada yang butuh. Ya sudah dipublish lewat Kaskus," kata Mega, yang kini tengah mengandung anak pertama mereka. Nah, saat menjual iPad ini, Randy mengambil keuntungan antara Rp 300 ribu - 400 ribu per unit. Sementara Dian, hanya mengambil keuntungan sekitar Rp 150 ribu per unit.

Randy yang bekerja sebagai seorang engineer di perusahaan minyak asal Inggris British Petroleum, mengaku telah beberapa kali melakukan transaksi jual beli lewat Kaskus. “Saya adalah orang yang suka gadget. Sering gonta-ganti hape. Tak terhitung berapa kali saya melakukan jual beli lewat Kaskus,” katanya.

Adapun Dian, mengaku baru kali itu menjual perangkat elektronik lewat internet. Tak heran bila ia musti meminjam akun istrinya di Kaskus, untuk menjual barang. Sementara, Galih sendiri sebelum ini hanya sekali menggunakan akun Kaskusnya untuk berjualan. Yakni pada 2009, saat hendak menjual BlackBerry Javelin miliknya karena trackball-nya bermasalah. “Saya sendiri baru berjualan kemarin, langsung kena,” kata Dian.

***

Munculnya kasus Dian dan Randy di Kaskus sendiri sangat mempengaruhi iklim perdagangan online di Forum Jual Beli Kaskus. Bila sebelumnya para penjual di Kaskus tak segan-segan mendatangi para peminat untuk melakukan penjajakan transaksi dengan metode cash on delivery (COD), setelah kasus ini, para pedagang lebih memilih untuk tidak bertransaksi dulu dengan alasan stok yang kosong.

Apalagi, polisi sudah berancang-ancang terus memperketat pengawasan terhadap situs-situs di mana terjadi perdagangan online, seperti Kaskus, Multiply, atau Tokobagus. "Umumnya melalui forum jual beli di Internet. Bukan hanya di Kaskus saja, masih banyak di media forum lainnya. Itu jadi sasaran kita," ujar Kepala Satuan Industri dan Perdagangan Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Sandi Nugroho.

Pasalnya, kata Sandi, dari 11 kasus penjualan Ipad ilegal yang terungkap selama 2010-2011, transaksi jual beli paling banyak dilakukan melalui forum jual beli di Internet. Namun, tentu saja kasus ini juga mengundang kegeraman para Kaskuser terhadap langkah polisi yang dianggap sudah terlalu berlebihan.

Di Kaskus sendiri para Kaskuser membuat thread khusus untuk menghimpun dukungan bagi Dian dan Randy. Antara lain ada thread ‘300 JUTA KASKUSER gaLang dukungan untuk Dian dan Randy’, ‘Galang Dukungan buat Dian & Randy (Kasus Penjualan Ipad di FJB Kaskus.us)’, dan ‘Dukungan terbuka buat agan Dian dan Randy’.

Gerakan serupa juga menjamur di jejaring sosial Facebook. Facebooker pendukung Dian dan Randy berhimpun di beberapa laman seperti ‘Gerakan Kaskuser Dukung Dian Yudha Negara dan Randy Lester Samu-Samu’, ‘Dukung Dian & Randy (Kasus Penjualan Ipad di FJB Kaskus.us)’, dan ‘1.000.000 dukungan untuk Randy dan Dian, penjual iPad di Kaskus’.

Kebanyakan Kaskuser dan pendukung gerakan-gerakan itu menyesalkan tindakan polisi yang dianggap tebang pillih dan hanya berani mengincar para pedagang berskala kecil di Kaskus. Namun hal itu dibantah oleh Ajun Komisaris Besar Pol Sandi Nugroho. Menurut Sandi, dari hasil pengungkapan penjualan iPad ilegal dua tahun terakhir, ada pula distributor yang memiliki toko di Glodok. “Tapi itu awalnya juga terungkap melalui situs forum jual beli di media internet,” ujar Sandi.

Menurut dia, Randy dan Dian bukanlah tujuan dan sasaran utama polisi, melainkan hanya sasaran antara untuk mengungkap distributor besar iPad ilegal yang tidak dilengkapi sertifikasi ditjen Postel dan buku manual berbahasa Indonesia.

Bahkan, kata Sandi, dalam kasus Randy dan Dian polisi sempat menawarkan kepada keduanya hanya dijadikan saksi bukan tersangka, jika mereka dapat memberikan informasi siapa distributor utama yang menjual iPad ilegal itu kepada mereka.

“Bila iPad ilegal itu diselundupkan dengan kontainer berjumlah 100 ribu unit. Setiap iPad harganya Rp 10 juta, bayangkan, nilai kerugian negara bisa mencapai Rp 1 triliun,” kata Sandi. Jadi, menurutnya, pengusutan kasus iPad atau barang eletronik Ilegal merupakan delik murni, sehingga tanpa adanya laporan langsung dari satu orang yang dirugikan, polisi bisa melakukan penyelidikan.

Apapun yang dikatakan oleh Sandi, tim pengacara Dian dan Randy menganggap banyak kejanggalan yang mewarnai penyidikan kasus ini. “Seharusnya polisi jadi aparat penegak hukum, bukan pembelok hukum,” kata pengacara Dian dan Randy, Virza Roy Hizzal.

Kejanggalan pertama, penyidikan terhadap Dian dan Randy, dilakukan berdasarkan surat perintah tugas kepolisian bernomor SP.Gas/1285/XI/2010/Ditreskrimsus yang diterbitkan pada tanggal 23 November 2010 (sehari sebelum penangkapan terhadap Dian dan Randy). Padahal, salah satu dasar surat perintah tugas itu adalah Laporan Polisi dengan nomor LP/842/XI/2010/PMJ/DitReskrimsus, yang baru dibuat pada tanggal 24 November, setelah penangkapan dilakukan.

Kejanggalan berikutnya, tiga petugas kepolisian yang menangkap Dian dan Randy, yakni Dimas Ferry Anuraga, Eben Patar Opsunggu dan Suhadi, tak hanya menjadi penyidik. Mereka juga dijadikan sebagai saksi fakta dalam kasus ini. Seharusnya ini tidak dilakukan karena sudah tentu akan terjadi benturan kepentingan, khususnya dalam proses penyidikan.

Tak hanya itu, Didit Wijayanto Wijaya, anggota tim pengacara Dian dan Randy, mengatakan bahwa penangkapan terhadap Dian dan Randy dilakukan polisi dengan cara menjebak keduanya sambil berpura-pura menjadi pembeli dan meminta disediakan iPad dalam jumlah yang lebih banyak dari yang ia miliki, yaitu 2 unit.

“Dalam hal ini Randy bahkan tidak melakukan penawaran. Polisi yang melakukan jebakan, dan melakukan permintaan,” kata Didit. Jebakan ini, kata Didit, sangat berlebihan, dan seharusnya hanya dilakukan dalam penyidikan kasus kejahatan terorganisir, seperti kejahatan di bidang narkotika, terorisme, atau traficking.

***

Terlepas dari kejanggalan-kejanggalan tadi, perdagangan perangkat telekomunikasi di Indonesia memang musti mematuhi Pasal 32 ayat 1 UU No 36 tahun 99 tentang Telekomunikasi, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Permenkominfo No 29 tahun 2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi.

Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Gatot Sulistiantoro Dewa Broto, iPad atau perangkat komputer tablet, lainnya yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi wajib hukumnya untuk disertifikasi oleh Kominfo. Kominfo sendiri, kata Gatot, sudah mengeluarkan sertifikasi bagi 12 tipe iPad.

Hanya saja, sertifikasi itu tetap wajib dilakukan oleh distributor, importir, atau badan usaha yang hendak menjual perangkat iPad di Indonesia, kendati mungkin sertifikasi tipe yang sama sudah pernah diterbitkan untuk pihak lain. “Diloloskannya sertifikasi bersamaan dengan dikeluarkannya label stiker Ditjen postel, sesuai jumlah unit perangkat yang akan dikeluarkan dari bea cukai,” kata Gatot.

Menurut anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia Heru Sutadi, sertifikasi dilakukan untuk membuktikan bahwa barang tersebut memenuhi standar kualitas dan layak diperdagangkan. ”Misalnya dikatakan kapasitas kameranya 5 megapiksel, nanti akan dicek benar atau tidak. Kalau tidak, berarti terjadi pembohongan,” kata Heru. Oleh karenanya, proses sertifikasi juga melibatkan pengujian perangkat, maksimal hingga 40 hari.

Biaya untuk melakukan sertifikasi sendiri tergantung spesifikasi perangkat yang hendak disertifikasi. Misalnya biaya sertifikasi ponsel bervariasi mulai Rp 4,5 juta hingga Rp 9 juta. Namun, Heru menambahkan, tak semua perangkat telekomunikasi musti disertifikasi. Pada Pasal 6 ayat 1 b Peraturan menteri itu, diatur pengecualian sertifikasi terhadap barang bawaan penumpang atau awak sarana pengangkut atau barang pelanggan dengan jumlah maksimal 2 unit.

“Kalau 2 unit masih boleh, karena itu barang untuk pribadi. Tapi kalau lebih dari itu, sudah diasumsikan untuk keperluan penjualan. Jadi kalau misalnya mendatangkan iPad dari Singapura sampai 8 unit atau lebih, ada kemungkinan niatnya untuk dijual kembali,” kata Heru. Peraturan ini, kata Heru, diberlakukan demi melindungi konsumen, termasuk menjamin kesehatan ekosistem perdagangan online.

Namun demikian, Heru juga mengingatkan agar, penegakkan hukum tak hanya diterapkan terhadap para pemain kecil, agar rasa keadilan masyarakat bisa terpenuhi. Ia mengingatkan agar polisi juga bisa proaktif dalam kasus penyelundupan dua kontainer BlackBerry illegal yang kabarnya juga melibatkan seorang anggota MPR. “Penegakan hukum tak boleh pandang bulu, siapapun bekingnya,” kata Heru.

***

Selasa 5 Juli lalu, Dian dan Randy, seperti tak percaya ketika hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan mereka. "Kami bahagia, sekarang kami bisa berkumpul lagi dengan keluarga," ujar Dian dengan mata berkaca-kaca. "Saya berterima kasih kepada yang mulia hakim, akhirnya dikabulkan dan janji kami bisa dipegang," kata Randy sambil terisak.

Untuk sementara, keduanya bisa lepas dari pengalaman buruk mereka di penjara. Terlebih lagi, keduanya baru saja mendapat angin segar dukungan dari seorang saksi ahli, yakni Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan, Nus Nuzulia Ishak.

Dalam sidang, Nuzulia mengatakan bahwa semua tipe komputer tablet Apple iPad masih belum dimasukkan ke dalam daftar 45 produk elektronik dan telematika yang sudah diwajibkan mencantumkan garansi dan buku manual berbahasa Indonesia. "Sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 tahun 2009, iPad memang belum masuk ke dalam pencantuman produk yang harus ada manual dan garansi bahasa Indonesia," kata Nuzulia.

Tapi Randy dan Dian tak berani terlalu gembira. Menurutnya proses persidangan mereka masih panjang. “Proses ini masih jauh. Kita ikuti saja proses hukum ini,” kata Randy. Satu yang pasti, kasus ini tak membuat Dian dan Randy jera untuk berdagang online lewat Kaskus.

Suatu saat kasus ini berakhir, Dian dan Randy mengaku akan kembali berjualan di Kaskus. “Saya tidak kapok untuk bertransaksi di Kaskus,” kata Randy. “Tentu tidak berjualan iPad karena beresiko. Saya akan berjualan yang lain,” kata Dian tersenyum. (np)


• VIVAnews

No comments:

Post a Comment